Pembongkaran Pantai Bingin: Konflik antara Penertiban dan Nasib Rakyat Kecil
Info Singasana– Pantai Bingin, salah satu destinasi wisata tersembunyi di Bali yang terkenal dengan ombaknya yang cocok untuk berselancar, kini menjadi pusat kontroversi. Gubernur Bali, I Wayan Koster, bersama Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa, memimpin langsung operasi pembongkaran puluhan bangunan ilegal di kawasan tersebut pada Senin (21/7). Aksi ini melibatkan Satpol PP, polisi, hingga TNI. Namun, di balik niat penertiban, muncul protes keras dari pekerja dan warga yang menggantungkan hidupnya di sana.
Dasar Hukum Pembongkaran: Pelanggaran Izin dan Lahan Milik Pemda
Menurut Gubernur Koster, pembongkaran dilakukan karena 48 bangunan—termasuk vila, homestay, dan restoran—berdiri di atas lahan milik Pemerintah Kabupaten Badung tanpa izin. Kawasan Pantai Bingin termasuk dalam Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang seharusnya bebas dari bangunan komersial.
“Lahan ini adalah aset Pemda Badung. Bangunan ini tidak memiliki hak milik pribadi, jelas melanggar hukum,” tegas Koster.
Selain itu, bangunan-bangunan tersebut juga melanggar Perda Tata Ruang Bali dan Kabupaten Badung. Pemerintah mengklaim telah memberikan peringatan berulang sebelum eksekusi, termasuk rekomendasi dari DPRD Provinsi Bali.
Protes Pekerja: “Kami Butuh Pekerjaan, Bukan Janji!”

Baca Juga: Festival Jatiluwih 2025 Resmi Dibuka, Usulan Perpanjangan Durasi Hingga Sebulan
Pembongkaran ini tidak berjalan mulus. Para pekerja yang kehilangan mata pencaharian bereaksi histeris, membawa spanduk bertuliskan “Save Bingin” dan “Kami Menolak Pembongkaran”. Beberapa teriakan mereka menusuk hati:
-
“Siapa yang bayar BPJS kami?”
-
“Kami cari kerja di mana sekarang?”
-
“Anak saya makan apa besok?”
Mereka menuntut solusi nyata, bukan sekadar pembongkaran tanpa alternatif lapangan kerja. Gubernur Koster berjanji akan memikirkan nasib pekerja, tetapi tidak memberikan kompensasi karena bangunan tersebut ilegal.
Tudingan Tebang Pilih dan Dugaan Kepentingan Investor
Warga lokal, seperti Sujastra, mencurigai ada agenda terselubung di balik pembongkaran ini. Mereka menduga kawasan Pantai Bingin akan dialihkan kepada investor besar, mirip kasus yang terjadi di Canggu.
“Jika benar ada investor yang akan mengambil alih, ini berarti pemerintah mengkhianati rakyat kecil,” kata Sujastra.
Alex Barung, kuasa hukum warga, juga mengecam pemerintah karena dianggap tidak adil dan tebang pilih. Ia telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar untuk menunda eksekusi.
Menurut warga, bangunan di Pantai Bingin sudah ada secara turun-temurun, jauh sebelum RTRW ditetapkan. Awalnya hanya warung kecil, lalu berkembang menjadi penginapan seiring pesatnya pariwisata Bali.
“RTRW itu baru dibuat belakangan, sementara kami sudah berusaha di sini puluhan tahun,” ujar seorang warga.
Pemerintah berargumen bahwa penertiban harus dilakukan demi kepatuhan hukum dan kelestarian lingkungan. Namun, warga menuntut kebijakan yang lebih manusiawi, seperti masa transisi 5-10 tahun agar mereka bisa menyesuaikan diri.














